POLEMIK PENGGUNAAN ABK ASING, DIRJEN PSDKP BERKUNJUNG KE AMBON



 Pembekuan SIPI kapal perikanan yang menggunakan ABK asing oleh Ditjen Perikanan Tangkap hingga kini belum menemukan titik temu penyelesaiannya di lapangan. Hal ini disebabkan karena para pengusaha tetap menggunakan ABK asing di kapal-kapal berbendera Indonesia tersebut.  Sebagaimana diketahui bahwa pada Pasal 35A UU No.45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Pasal 19 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 26 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap telah ditetapkan bahwa kapal perikanan berbendera Indonesia wajib menggunakan Nakhoda dan ABK Indonesia, apabila tidak menjalankan sebagaimana ketentuan yang berlaku, akan dikenai sanksi administrasi berupa pembekuan atau pencabutan SIPI.
          Adanya permasalahan tersebut, pada hari Selasa 22 Juli 2014 Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan bapak Syahrin Abdurrahman, SE melakukan kunjungan kerja ke Ambon.  Didampingi oleh Kepala Satker PSDKP Ambon L. Mulyadi Marto, S.St.Pi, Dirjen PSDKP memulai kunjungannya di Satker PSDKP Ambon untuk memberikan arahan dan dukungan kepada Pengawas Perikanan dalam melaksanakan tugas. Dalam kunjungannya ke kantor Satker PSDKP Ambon, Dirjen PSDKP mengungkapkan bahwa Pengawas Perikanan harus tegas dalam mengawal peraturan perundang-undangan dan tidak takut kepada siapa pun. Khusus untuk kapal-kapal yang dibekukan SIPI nya, Dirjen PSDKP menyampaikan bahwa dalam UU Perikanan dan PERMEN KP sudah jelas aturannya sehingga sebagai pengawas perikanan perlu melaporkan adanya pelanggaran tersebut, untuk pemberian sanksi (eksekutor) adalah wewenang Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Selanjutnya didampingi oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku bapak Ir. Bastian Mainassy, M.Si,  Dirjen PSDKP memberikan pengarahan kepada staf pengawasan perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku. Bertempat di ruang rapat Kepala DKP Provinsi Maluku, Dirjen PSDKP mengawali dengan pemaparan mengenai visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang pada tujuannya adalah untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Dirjen mengungkapkan bahwa masih banyak yang masih menggunakan “visi” KKP yang lama yakni sebagai penghasil produk perikanan terbesar tahun 2015.  Sedangkan visi KKP sekarang adalah “pembangunan kelautan dan perikanan yang Berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat”. Dalam hal ini Dirjen menekankan agar pelaksanaan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Dirjen PSDKP menyampaikan bahwa apalah arti pendapatan negara atau PAD meningkat tapi terjadi kerusakan lingkungan yang menyebabkan sumber daya perikanan akan habis. Konsep pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia saat ini adalah industrialisasi dan blue economy. Konsep tersebut untuk kemakmuran rakyat dan mengurangi kerusakan lingkungan.
Dirjen PSDKP juga menyoroti penggunaan ABK di kapal-kapal eks asing. Bahwa banyak yang tidak bersedia bekerja di kapal eks asing tersebut karena gajinya hanya sepertiga dari gaji ABK asing yang bekerja di kapal-kapal tersebut. Demikian juga dengan kegiatan pendaratan ikan di PPN yang pernah disaksikan secara langsung, yakni praktek para pengusaha yang bermain “kotor” yakni mendaratkan ikan di mobil truk dan selanjutnya diangkut ke kapal penampung tanpa diolah terlebih dahulu sebagaimana ketentuan yang berlaku. Para pengusaha perikanan tersebut secara administrasi sudah lengkap, namun dalam pelaksanaannya tidak sesuai. Untuk itu Dirjen mengelompokan para pengusaha dalam 3 kategori yakni “Hitam, Abu-abu dan Putih”.
Dirjen juga menyampaikan bahwa seharusnya yang diberi “kebijakan” adalah perusahaan perikanan yang benar-benar mendaratkan ikan di cold storage sesuai ketentuan yang berlaku. Hal tersebut disampaikan Dirjen PSDKP karena adanya laporan dari Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku bahwa pembekuan izin kapal-kapal yang menggunakan ABK asing menyebabkan kekurangan ikan di pasar lokal Ambon, dan dapat meningkatkan kemiskinan masyarakat Ambon karena harga ikan yang meningkat.
Dalam pemaparan ini Dirjen PSDKP menganjurkan agar pengawas perikanan baik yang pusat maupun yang daerah agar tidak ketinggalan dalam mengetahui peraturan perundang-undangan yang terbaru. Berbicara tentang pelaksanaan ketentuan peraturan dan perundang-undangan di lapangan seringkali menemui kendala karena berbagai hal. Baik dari pengusaha maupun petugasnya ada yang “bermain” dengan peraturan. Dirjen PSDKP pun mengingatkan agar tidak berusaha melanggar atau bermain-main dengan peraturan. Hal ini diaminkan pula oleh Kepala DKP Provinsi Maluku.
Terkait dengan pembekuan izin kapal perikanan, Dirjen PSDKP mengungkapkan bahwa tetap menunggu kepastian dari Ditjen Perikanan Tangkap karena pemberian kebijakan pengaktifan SIPI kapal-kapal yang menggunakan ABK yang tidak sesuai peraturan yang berlaku adalah wewenang mereka (Ditjen Perikanan Tangkap) karena peraturan adalah produk dari perikanan tangkap. Ditjen PSDKP hanya bertugas untuk mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.
Dalam rapat ini dihasil pula kesepakatan antara Dirjen PSDKP dan DKP Provinsi Maluku untuk membentuk “tim sinergisitas” dalam pelaksanaan pengawasan khususnya terhadap pengimplementasian peraturan di bidang perikanan di Maluku.  Hasil kerja dari Tim ini akan dilaporkan kepada Dirjen Perikanan Tangkap, Dirjen PSDKP dan Kepala DKP Provinsi Maluku. Laporan tim kerja tersebut juga akan ditembuskan kepada Gubernur Provinsi Maluku.
Pemaparan Dirjen di Kantor DKP dihadiri pula oleh Kabid Penangkapan DKP Provinsi Maluku  Bapak Thalib Latuconsina, Kepala Seksi Pengawasan  Ahmad Umarella, serta seluru staf bidang penangkapan DKP Maluku. Diakhir kunjungannya selama sehari di Ambon, Dirjen PSDKP menyempatkan diri untuk bersilahturahmi dengan Komandan Lantamal IX Ambon.
(Penulis: Roy Salinding/Staf satker PSDKP Ambon).

GUNAKAN ABK ASING, 88 IZIN KAPAL PERIKANAN DIBEKUKAN

Kapal-kapal yang selesai bongkar menambatkan jangkar di sekitar dermaga PPN Ambon (Foto 14/07/2014)Polemik penggunaan ABK asing di kapal perikanan berbendera Indonesia di Ambon yang  selama ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat kini sedikit demi sedikt mulai terjawab. Berdasarkan laporan dari pengawas perikanan Satker PSDKP Ambon mengenai penggunaan ABK asing di kapal perikanan berbendera Indonesia, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap mengambil langkah tegas dalam memberikan sanksi administratif berupa pembekuan SIPI. Melalui surat tertanggal 12 Juni 2014, Direktorat Perikanan Tangkap membekukan SIPI sebanyak 88 kapal perikanan berbendera Indonesia yang menggunakan ABK asing.
Seperti diketahui bahwa sejak UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan direvisi menjadi UU No.45 Tahun 2009,  dengan memasukkan tambahan Pasal 35A yang mewajibkan kapal berbendera Indonesia menggunakan nakhoda dan ABK Indonesia, namun hingga tahun 2014 ini belumlah nampak jelas implementasinya di lapangan.  Selanjutnya pada Pasal 19 ayat (1) huruf g butir 4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Dengan dasar ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sebagaimana tugas pengawas perikanan  yang diamanatkan UU No.45 Tahun 2009  untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Oleh karena itu Kepala Satker PSDKP Ambon L. Mulyadi Marto, S.St.Pi perlu menyampaikan laporkan hasil pengawasan di Satker PSDKP Ambon perihal penggunaan  ABK asing di kapal-kapal berbendera Indonesia di Ambon kepada Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Laporan yang disampaikan pengawas perikanan PSDKP Ambon berdasarkan kondisi di lapangan. Laporan pengawas tersebut akhirnya ditindaklanjuti oleh Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan melalui nota dinas kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap yang merupakan pihak berwenang untuk menerbitkan SIPI dan membekukan atau mencabut SIPI kapal-kapal perikanan.
Pasal 19 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.26 Tahun 2013 sebenarnya sudah sangat jelas mengatur bahwa sebelum diterbitkan SIPI, perusahaan atau agen kapal perikanan harus membuat pernyataan bahwa sanggup menggunakan nakhoda dan ABK berkewarganegaraan Indonesia. Namun dalam pelaksanannya, para pelaku usaha perikanan tetap menggunakan ABK dan nakhoda asing di kapal-kapal eks asing yang telah berubah bendera menjadi bendera kebangsaan Indonesia. Berbagai alasan diberikan oleh para pelaku usaha perikanan untuk tetap menggunakan ABK asing. Bahkan berusaha “mengelabui” peraturan dengan menggunakan orang Indonesia sebagai nakhoda, akan tetapi kuasa nakhoda Indonesia di atas kapal tetap dikendalikan oleh Fishing Master yang berkewarganegaraan asing. Penggunaan nakhoda Indonesia hanya sebagai pelengkap.
Kegiatan bongkar hasil tangkapan dari KM. Mabiru 89 (Foto 8/07/2014)
Kegiatan bongkar hasil tangkapan dari KM. Mabiru 89 (Foto 8/07/2014)

Sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa dalam hal kapal penangkap ikan yang telah memiliki SIPI dan tidak memenuhi kesanggupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenakan sanksi administrasi berupa pembekuan SIPI atau pencabutan SIPI.  Adapun kapal-kapal yang SIPI nya dibekukan umumnya menggunakan ABK warga negara Thailand.
Adapun perusahaan pemilik/agen kapal yang dikenai sanksi pembekuan SIPI yakni:
NO NAMA PERUSAHAAN JUMLAH
1 PT. JARING MAS 7 KAPAL
2 PT. HADIDGO 9 KAPAL
3 PT. BERSAMA MITRA SEJAHTERA 3 KAPAL
4 PT. MAJU JAYA BERSAMA 3 KAPAL
5 PT. SUMBER LAUT UTAMA 13 KAPAL
6 PT. THALINDO ARUMINA JAYA 2 KAPAL
7 PT. MAKMUR RIZKI BERSAMA 1 KAPAL
8 PT. BIOTA INDO PERSADA 3 KAPAL
9 PT. ERA SISTEM INFORMASINDO 3 KAPAL
10 PT. S & T MITRA MINA INDUSTRI 10 KAPAL
11 PT. TANGGUL MINA NUSANTARA 34 KAPAL
JUMLAH 88 KAPAL

Kapal-kapal tersebut telah beroperasi selama bertahun-tahun dengan tetap menggunakan sebagian besar ABK asing  dan fishing master asing. SIPI kapal yang dibekukan wajib menyampaikan klarifikasi/penjelasan atas pelanggaran yang dilakukan oleh ke-88 kapal serta mengembalikan SIPI. Klarifikasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan akan menjadi pertimbangan untuk pengaktifan kembali SIPI kapal-kapal tersebut.

 Kapal-kapal yang selesai bongkar menambatkan jangkar di sekitar dermaga PPN Ambon (Foto 14/07/2014)
Saat ini, dermaga PPN Ambon hanya disibukkan oleh aktifitas kapal-kapal yang membongkar hasil tangkapannya. Sedangkan kapal yang telah selesai membongkar hasil tangkapannya,  umumnya menambatkan jangkar di sekitar dermaga PPN Ambon, karena belum  diperbolehkan melakukan operasi penangkapan ikan sebelum mendapatkan Surat Laik Operasi (SLO) dari Pengawas Perikanan dan Surat Persetujuan Berlayar dari Syahbandar sebagai syarat untuk melakukan penangkapan ikan di fishing ground.
Hingga saat ini belum diketahui kapan kapal-kapal eks asing yang menggunakan ABK asing diperbolehkan menangkap ikan di WPP NRI. Semua masih menunggu keputusan pengaktifan kembali dari pusat dalam hal ini Direktorat Perikanan Tangkap sebagai otoritas yang berwenang menerbitkan, membekukan atau mencabut SIPI kapal perikanan. Selama dalam pembekuan SIPI kapal-kapal yang menggunakan ABK asing tersebut, para pelaku usaha/agen terus melakukan upaya pendekatan ke berbagai pihak seperti Kepala PPN Ambon, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, agar dapat mengaktifkan kembali SIPI kapal-kapalnya  (Penulis: Roy Salinding/Staf Satker PSDKP Ambon)

Same article:
http://stasiunpsdkptual.org/gunakan-abk-asing-88-izin-kapal-perikanan-dibekukan/ 

KAPAL IKAN SILUMAN DI LAUT NUSANTARA





Selama bertahun-tahun, laut Indonesia menjadi sasaran empuk pencoleng asing. Berasal dari Taiwan sampai Thailand, mereka menggunakan kapal berbendera Merah Putih dengan memanipulasi beragam perizinan. Di samudra kita, para garong dengan leluasa mencuri ikan dan mengangkutnya ke negeri seberang. Negara dirugikan hingga ratusan triliun rupiah. Dalam dua bulan terakhir, Tempo menelusuri sepak terjang kapal-kapal siluman tersebut. 

                            Aktifitas bongkar di PPN Ambon

BERULANGKALI  Daniel Kaghahing mengusap matanya yang berkaca-kaca. Mantan pelaut di Papusungan, Lembeh Selatan – sebuah pulau tepat di seberang kota Bitung, Sulawesi Utara- itu sedang meratapi garis hidupnya yang nahas. Ditemui akhir Mei lalu, pria 39 tahun ini baru sebulan keluar dari penjara.

Nasib buruknya bermula dua tahun lalu. Ketika itu Daniel memegang jabatan mentereng: kapten kapal. Bahteranya tidak sembarangan. Besarnya 319 gross tonnage dan bisa berlayar mencari ikan sampai jauh. Namanya Meriyana. Sekali melaut, Daniel bisa tak pulang sampai enam bulan.Pada awal 2012, sebuah peristiwa mengubah garis tangan Daniel. Sepulang dari kegiatannya menangkap ikan di Laut Arafura, polisi mencarinya dengan tuduhan terlibat pemalsuan dokumen kapal. Sekembali ke Bitung, Meriyana memang berubah nama menjadi Yungin 05.

Daniel terkejut. Selama delapan tahun jadi nakhoda kapal, baru kali ini dia berurusan dengan penegak hukum. Rasa kagetnya bertambah ketika majelis hakim menjatuhkan hukuman 20 bulan penjara. Bukan hanya itu, semua dokumen izinnya sebagai pelaut juga disita pengadilan, termasuk sertifikat ahli nautia kapal penangkap ikan (atkapin) tingkat dua. “Sejak itu saya tidak bisa melaut lagi,” katanya pilu.

Ironisnya, pelanggaran seperti yang dilakoni Daniel itu dilakukan juga oleh banyak pelaut lain di Bitung. Kapten kapal yang menakhodai bahtera dengan dokumen palsu bertebaran di sana. Di atas kapal siluman itu, mereka tak lebih dari kapten boneka.

TUDINGAN  bahwa sebagian besar kapal penangkap ikan di Indonesia diam-diam ternyata milik warga negara dan perusahaan asing sebenarnya sudah lama terdengar. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Lembaga swadaya masyarakat yang kerap melakukan riset dan advokasi di bidang ini, secara khusus mengangkat itu dalam peringatan Hari Nelayan Nasional pada 6 April lalu. Mereka menggelar unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, menuding pemerintah membiarkan banyak kapal siluman mencari ikan di perairan Nusantara.

Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, mengaku punya sederet bukti untuk mendukung tuduhan itu. “Selama ini ada kesan bahwa pelakunya justru dilindungi  pemerintah,” kata Halim, dua pekan lalu.
Tak mengherankan kalau Halim geregetan. Kerugian Indonesia akibat penangkapan ikan tanpa izin, tak dilaporkannya hasil tangkapan ikan, dan penangkapan ikan di area yang belum diatur pengelolaannya (illegal, unreported, and unregulated fishing) mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun.  Pada 2001 saja, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan Indonesia kehilangan Rp 30 triliun per tahun dari sektor ini.

Sebuah lembaga riset lain, Fisheries Resources Laboratory, mengungkapkan angka yang lebih mencengangkan. Akibat pencurian ikan di Laut Arafura selama kurun 2001-2013, negeri ini sudah merugi Rp 520 triliun. Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk membangun lebih dari seratus jembatan antarpulau sebesar Suramadu. “Modus illegal fishing yang paling banyak terjadi adalah pemalsuan izin,” tulis hasil analisis itu.

Secara tersirat, pemerintah tak menolak kesahihan data lembaga ini. Pasalnya, document penelitian ini justru ditemukan Tempo di situs Kementerian Kelautan dan Perikanan.Bagaimana pemalsuan izin kapal siluman ini bisa terjadi? Halim menunjuk lemahnya pengawasan atas proses alih kepemilikan pada kapal yang semula berbendera asing. “Semua berawal dari sana,” katanya.

Merujuk pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini terdapat sedikitnya   550 ribu kapal yang mengantongi surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Dari jumlah itu, 1.200 adalah eks bahtera berbendara asing.

Kapal-kapal asing itu berubah kepemilikan seiring dengan perberlakukan Undang-Undang Perikanan  Nomor 45 tahun 2009. Yaitu melarang sepenuhnya kapal asing menangkap ikan di laut Nusantara. Kini kapal-kapal raksasa tersebut tercatat sebagai milik orang atau perusahaan Indonesia.
Masalahnya, banyak yang yakin ada permainan di bawah meja. Para pemilik kapal lama kapal asing itu sebenarnya masih menguasai asetnya dengan menyiasati perizinan.

Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan di era Presiden Megawati Soekarnoputri, termasuk yang mempercayai hal itu. “Namanya kapal pinjam bendera (flag of convenience). Kapal semacam itu semi-legal: secara de jure resmi milik pengusaha Indonesia, tapi secara de facto milik asing,” katanya pekan lalu. 

Mantan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Perikanan Aji Soelarso sependapat. Dihubungi terpisah, dia mengungkapkan bahwa peralihan kepemilikan kapal asing ke pengusaha Indonesia itu menggunakan modus transaksi palsu. “Akibatnya, sekarang banyak kapal abal-abal,” katanya pada awal Juni lalu.
Kedua mantan pejabat ini menegaskan bahwa praktek kapal siluman merupakan modus terbaru penangkapan ikan illegal. “Dengan bendera Indonesia, kapal-kapal asing ini leluasa menangkap ikan di luar wilayah yang menjadi haknya,” kata Rokhmin dengan nada geram.

MARI kembali pada kisah Daniel Kaghahing. Pada medio 2011, Meriyana-kapal yang dinakhodai Daniel- berangkat dari pelabuhan Bitung. Mereka berencana melaut selama enam bulan di Laut Arafura.
Baru dua bulan beroperasi di perairan kaya ikan itu, sebuah panggilan masuk ke telepon satelit yang terpasang di Meriyana. Seorang pegawai PT. Karya Bitung Sejati –perusahaan pemilik Meriyana- meminta Daniel segera merapat ke pelabuhan Pamoko, Timika Papua. “Saya diminta mengembil dokumen surat izin penangkapan ikan yang sudah diperpanjang,” katanya kepada Tempo, akhir Mei lalu.

Sampai Timika beberapa hari kemudian, Daniel sempat kebingungan karena tak ada orang Karya Bitung Sejati di sana. Dia malah di temui seseorang bernama Warsono, yang mengaku sebagai bos         PT Yungin Prima Sentosa.
“Dia memerintahkan lambung kapal saya dicat ulang dan diberi nama baru: Yungin 05,” kata Daniel mengenang. Pada dokumen surat penangkapan ikan pun, nama kapal Daniel sudah berubah. Tak ada lagi Meriyana.

Daniel mengikuti perintah Warsono, karena dia tahu persis Karya Bitung Sejati bukanlah pemilik asli Meriyana. Apalagi Warsono memberi jaminan bahwa manajemen Karya Bintang sudah menyetujui perubahan itu. “Pemilik Meriyana itu orang Taiwan. Namanya Agi,”kata Daniel. Dia menduga Warsono adalah orang suruhan Agi.

Setelah pengecatan ulang rampung, Meriyana alias Yungin 05 melaut lagi. Meski  sempat waswas karena berlayar dengan dokumen palsu, Daniel memutuskan jalan terus. “Soalnya pengelola pelabuhan Pomako menerbitkan surat persetujuan berlayar untuk Yungin 05. Kalau ada masalah seharusnya surat itu tidak keluar,” katanya yakin.

BITUNG hanya salah satu dari sekian pelabuhan perikanan di Indonesia yang jadi markas kapal siluman. Begitu pula pelabuhan Batam, Muara Baru (Jakarta), Bali, Tual, serta Sorong dan Timika (Papua). “Sebagian besar kapal siluman itu beroperasi di Laut Natuna dan Arafura,” kata mantan petinggi Kementerian Keluatan dan Perikanan, Aji Soelarso.
 

Bagaimana menemukan kapal penangkap ikan siluman di perairan seluas itu? Gampang. Lihat saja anak buah kapalnya. Kalau sebagian besar ABK tidak bisa berbahasa Indonesia, hampir pasti kapal itu kapal siluman. Riza Damanik, Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, bercerita panjang-lebar mengenai praktek kapal siluman yang kerap dikeluhkan anggotanya. Rupanya, pemilik kapal menempatkan ABK dari negaranya untuk memastikan bahwa ikan tangkapannya dijual ke negara si pemilik kapal. “Mereka juga bertugas memantau uang yang dikelola mitranya di Indonesia,” ujar Riza.

Menurut Riza, kapal di pelabuhan Bitung, banyak mempekerjakan ABK asal Taiwan dan Filipina, sedangkan kapal siluman di Ambon kebanyakan mempekerjakan awak asal Thailand.
Pada pertengahan Maret lalu, Tempo melihat sendiri betapa banyak ABK asal Thailand di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Maluku. Mereka ada di semua sudut. Saking maraknya pelabuhan tersebut oleh pelaut dari Negeri Gajah Putih, para penjaga kantin dan warung di sana sekarang lumayan fasih berbahasa Thailand. Dengan bahasa Thai yang terpatah-patah, mereka melayani awak kapal asing yang sibuk membeli susu, makanan ringan, sampo sampai sabun mandi.

Tak hanya di kantin, Tempo sempat naik ke kapal Mabiru 15 yang baru bersandar di pelabuhan yang berlokasi di Tantui, Ambon itu. Di atas kapal, obrolan riuh rendah dengan bahasa yang terdengar asing segera terdengar. Luther Palambi, nakhoda Mabiru 15, terus terang mengakui bahwa sebagian besar awaknya berasal dari Thailand. “Cuma lima yang dari Indonesia,” katanya ringan.

Penggunaan awak asing jelas melanggar Undang-Undang Perikanan. Badan Pemeriksa Keuangan pernah mengaudit keberadaan tenaga kerja asing di sektor ini tahun 2010. Setelah memeriksa ratusan kapal di Jakarta, Medan, Manado, dan Ambon, BPK menemukan hampir 2.000 awak kapal asing. Bahkan banyak kapal penangkap ikan yang separuh awaknya berkewarganegaran asing.

Tak hanya tenaga kasar, para ahli penangkapan ikan (fishing master) dan kepala kamar mesin (engineer) juga kerap warga negara asing. Hanya para nakhoda yang biasanya orang Indonesia. “Tapi kapten kita tak berkuasa. Kapten sebenarnya adalah fishing master,” kata seorang mantan ABK di Kapal Tamina 1, yang berpangkalan di Ambon. Dia takut kehilangan pekerjaan jika namanya dipublikasikan. Awak kapal kerap menyebut fishing master sebagai “maestro” atau “tekong”. Banyak bukti menunjukkan bahwa tekong ini justru pemilik kapal yang sebenarnya.

Awak kapal ini lalu bercerita bagaimana Kapal Tamina 1 lolos dari patrol TNI angkatan Laut pada akhir 2011. “Waktu itu kami ada di Laut Arafura. Kami baru saja menurunkan jaring ketika bel kapal berbunyi tiga kali,” ucapnya.
Tekong kemudian muncul di anjungan dan berteriak dalam bahasa Thailand. Nadanya panik. “Dia minta jaring segera diangkat dan dilipat,” kata pelaut itu. Setelah itu, Tamina 1 melaju cepat kearah perairan Timor Leste.

Sambil kabur, bendera Indonesia di geladak di turunkan, berganti  jadi bendera Thailand. Meski resminya kapal itu milik PT. Tanggul Mina Nusantara, rupanya pemilik kapal mengantongi dua dokumen kepemilikan. “Di anjungan, ada dua koper dokumen. Satu Indonesia, satunya Thailand.”

Wajar kalau tekong Tamina 1 tak mau kapalnya kepergok patroli Indonesia. Menurut awaknya, kapal ini sering memindahkan hasil tangkapan ikannya di laut lepas alias transshipment. “Selama enam bulan kami di Arafura, setidaknya dua kali kami diperintahkan memindahkan ikan ke kapal Thailand,” kata si ABK.
Tri Harso Wahyudi, pengurus PT. Tanggul Mina Nusantara, mengaku bahwa kapalnya mempekerjakan banyak ABK asing. Hengky, pengurus PT. Mabiru, juga tak membantah. Alasannya sederhana: awak kapal Indonesia tak setangguh awak kapal negeri seberang. “Pelaut Indonesia sering menolak berlayar lebih dari satu bulan,” kata Hengky.
Tapi keduanya membantah jika dikatakan kapal mereka disebut kapal siluman yang kerap mencuri ikan. “Kalau benar begitu, potong saja tangan tekongnya,” kata Hengky dengan nada tinggi.


DANIEL Kaghahing dan kapal barunya, Yungin 05, kembali ke Bitung pada akhir 2011. Semula tak ada persoalan. Masalah baru muncul beberapa bulan kemudian, ketiak Yungin bersiap melaut lagi.
“kami mendadak dilarang berangkat,” kata Daniel. Polisi mencium keanehan dalam dokumen kapal Daniel. Salah satunya adalah soal spesifikasi kapal. Volume Yungin 05 tercatan 476 gross Tonnage, padahal Meriyana hanya 319 gross tonnage.

Tak perlu waktu lama, Daniel diperiksa, lalu ditahan. Pada Maret tahun lalu, pengadilan Negeri Bitung menghukum bapak satu anak ini 16 bulan penjara karena terbukti bersalah menggunakan dokumen kapal palsu. Tambahan empat bulan kurungan harus dilakoninya karena tak mampu membayar denda Rp. 1,5 miliar.
 


Adapun di Pengadilan Negeri Jakarta pusat, Warsono juga di sidang. Tapi hanya di vonis tiga bulan penjara. Sedangkan Agi hingga kini tak jelas rimbanya.
Bos PT Karya Bitung Sejati, Kristian T. Limboto, menolak mengomentari kasus Daniel. Dia tak merespon telepon dan pesan pendek yang dikirim Tempo.
Warsono alias Abian segendang sepenarian. Telepon, pesan pendek, hingga surat permohonan wawancara yang dikirim Tempo ke rumahnya di komplek Mediterania Boulevard Jakarta Utara, tak berbalas. Kantor PT Yungin Prima Sentosa di lantai lima AKA Building, Jakarta Selatan, kini tak ada lagi, berganti menjadi ruang perkuliahan kampus Universitas Thamrin.
Tinggalah Daniel meratap sendiri. “Saya merasa dikorbankan,” katanya. Karena tak bisa lagi melaut, kini dia menghidupi keluarganya dengan menjadi tukang ojek.

DIREKTUR Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Gellwyn Jusuf mengakui lika-liku perizinan kapal eks milik asing di Indonesia adalah masalah pelik. “Seharusnya kapal asing yang disita pemerintah tak boleh mendapatkan surat izin penangkapan ikan,” katanya dua pekan lalu.

Tapi, di lapangan, toh pelanggaran terus terjadi. April lalu, tak lama setelah Daniel Kaghahing bebasa dari bui, Yungin 05 kembali melaut. Namanya berubah menjadi KM AAA 2. Pemiliknya masih tak berubah: Warsono alias Abian. Yang berbeda cuma nama kaptennya. Kini kapal itu dinakhodai seorang pelaut bernama Zet Dara. Tanpa ribut-ribut, kapal siluman itu melenggang bebas di laut Nusantara.

Sumber: Investigasi. Majalah Tempo, 23-29 Juni 2014.